f SEPI ING GAWE RAME KAGEM GUSTI | Biologi

SEPI ING GAWE RAME KAGEM GUSTI

Dimulai dengan doa yang hening , berkenalan dengan gembira dan diberikan materi yang berat dengan bahan yang berbeda dengan biologi yang sedikitnya sudah kami kuasai kali ini benar benar tidak ada materi biologi maka harus konsen, fokus .....mengingat ini untuk kegiatan rame kagem gusti  ora oleh sembrono, misuh bajingan asu kirik dancukan diilangi pokoke alim dan yang terpenting dingerteni ora mung dicoba omonge cangkem ananging kudu dilakoni

Ini salah satu nya yang harus direfleksikan dan di olah dalam pikiran hati dan tindakan bukan seperti biasanya ....hanya pakai otak , melakukan langsung tindakan tanpa otak. namun pada kegiatan yang aku lakukan kali ini di Klaten selama lima hari dengan bapak ibu guru guru seluruh kolese di Indonesia bagaimana bisa melakukan suatu tindakan dengan melibatkan ketiga organ pokok otak , hati dan tangan untuk tindakan bisa bersinergi untuk menentukan ....untuk mencapai itu tentu harus hening dan nyuwun tulung gusti ..... Pengalaman ini untung diberikan dan diajarkan saya sebelum saya sekarat sehingga saya masih normal berfikir dan menyiapkan nanti ketika akan sekarat udah siap hehehe

rembrandt


TENTANG "SI ANAK HILANG


  • Ada seorang ayah yang mempunyai dua orang anak lelaki. 
  • Yang bungsu meminta bagian miliknya untuk mulai hidup di perantauan. 
  • Warisan yang seharusnya diberikan ketika ayah dan ibunya mati, ia minta dengan sendirinya ayahnya dimatikan 
  • Harta Warisan dijual dan uangnya untuk berpesta 
  • Ia  bungsu itu hanya berfoya-foya dan ketika ada kelaparan ia jatuh melarat dan terpaksa hidup tak pantas sebagai budak. 
  • Akhirnya ia memutuskan kembali. 
  • Ketika melihat anaknya dari kejauhan, sang ayah lari menjemputnya. 
  • Ia menyuruh orang-orang untuk memberinya jubah yang terbaik, cincin, dan sepatu - tanda ia diakui kembali sebagai anak, bukan diterima sebagai budak yang tak mengenakan hal-hal itu. 
  • Kedatangannya kembali juga dipestakan. 
  • Sementara itu anaknya yang sulung pulang dari ladang dan mendengar hal ihwal pesta itu. 
  • Ia tidak puas dan tak mau masuk ke rumah ikut pesta. 
  • Tetapi ayahnya keluar membujuknya. 
  • Anak sulung itu mengutarakan alasannya mengapa ia marah. 
  • Bertahun-tahun ia bekerja tanpa melanggar perintah tapi tak satu kali pun mendapat kesempatan bersuka ria dengan teman-temannya. 
  • Dan kini bagi anak pemboros dan tak berbakti itu ada pesta besar! 
  • Ayahnya membujuknya, anak sulung itu toh selalu ada bersamanya dan semua miliknya juga kepunyaannya.

Perumpamaan ini diceritakan bukan untuk membuat orang bertobat seperti si anak hilang, atau agar kita tidak bersikap iri seperti si anak sulung.

  • Perumpamaan biasanya diceritakan untuk mengajak berpikir mengenai hal-hal yang lebih dalam, bukan mengenai hal-hal yang bisa dikenakan begitu saja ke dunia sekitar, bukan pula untuk dituduhkan diam-diam dalam hati sekalipun
  • Kisah saudara tua yang dengki akan kemujuran adiknya bukan hal yang baru bagi pendengar 
  • Kitab Suci pada zaman itu. Ada kisah Kain dan Abel, kisah Esau anak sulung Israel dan Yakub adiknya, ada kisah Yusuf dan saudara-saudara tuanya. 
  • Saudara tua umumnya ditampilkan sebagai tokoh konyol sedangkan yang muda tokoh yang beruntung. 
  • Perumpamaan anak hilang ini memang memakai motif kisah yang sudah dikenal itu. 
  • Tetapi arah kisahnya berbeda dengan yang biasa dikenal. 
  • Walaupun akhirnya anak yang bungsu mujur, anak yang sulung tidak kehilangan haknya seperti halnya Kain, Esau atau saudara-saudara tua Yusuf. 
  • Kehadiran kembali yang bungsu tidak menggeser yang sulung. 
  • Mengapa begitu? 
  • Karena sang ayah tidak membeda-bedakan kedua anaknya itu kendati perasaan anaknya yang sulung lain. 
  • Juga si bungsu yang kembali itu sebenarnya merasa sudah tak pantas menjadi anak lagi dan malah minta diperlakukan sebagai budak saja. 
  • Tapi persepsi masing-masing mereka ini akan diluruskan. Marilah kita dekati


TEOLOGI "HUKUMAN" DAN "PAHALA"

Bila orang melakukan kesalahan, maka layak ia terkena hukuman.

  • Atas dasar prinsip itu, kebaikan mestinya mendatangkan pahala. 
  • Tanpa kita sadari gagasan ini sering mendasari cara memandang kejadian-kejadian dan melandasi penilaian terhadap orang lain. 
  • Perumpamaan ini disampaikan untuk menyorotinya.

Apa kesalahan atau dosa si anak bungsu di mata abangnya dan di mata si bungsu itu sendiri?

  • Ia dianggap bersalah karena tidak berlaku sebagai anak yang baik yang tinggal di dusun untuk meneruskan pekerjaan ayahnya membantu mengerjakan ladang. 
  • Ia pergi menuruti keinginannya sendiri. Ia jadi anak yang tak berbakti, lain daripada anak yang sulung. 
  • Lalu apa yang terjadi terhadap anak yang tak berbakti? Terhukum? 
  • Anak bungsu tadi memang mengalami nasib malang. Ini akibat kesalahannya? 
  • Pendengar atau pembaca akan tergoda melihat kelakuannya berfoya-foya di luar negeri sebagai penyebab kemelaratannya. 
  • Juga kelakuan tak berbakti kepada ayahnya membuatnya terhukum. 
  • Tetapi sebenarnya kemalangan si anak bungsu ditampilkan bukan sebagai hukuman dari atas, bukan pula konsekuensi keteledoran sendiri, melainkan akibat keadaan yang tak bisa dikontrol, yakni bencana kelaparan 
  • Pencerita ulung seperti Lukas sengaja menampilkan hal penting seolah-olah sebagai unsur tambahan. 
  • Pembaca dibiarkan terkecoh pikiran-pikirannya sendiri, tapi nanti akan dituntunnya kembali. Bagaimana dengan abangnya? 
  • Ia tipe anak yang baik, yang bekerja terus, setia tinggal di tempat. 
  • Orang seperti ini dalam gagasan orang banyak tentu mendapat pahala. 
  • Sekali lagi orang tergoda menganggap keberuntungannya sebagai pahala dan si anak sulung itu sendiri memang berpikir dalam ukuran-ukuran itu. 
  • Ia mengeluh bahwa tak pernah mendapat kesempatan bersenang-senang walaupun bertahun-tahun melayani dan tak pernah melanggar perintah 
  • Dan ketika si bungsu yang kembali itu dipestakan dan diberi sepatu, cincin, dan jubah kebesaran segala, wah, ini pahala atas dasar perbuatan apa? 
  • Kan anak itu pemboros dan bejat moralnya. 
  • Mestinya ia kena hukuman! 
  • Perumpamaan ini mengusik benak orang yang berpikir dalam perspektif teologi "hukuman dan pahala" seperti itu.


SI BUNGSU DAN KEGEMBIRAAN SANG AYAH

Ketika memutuskan untuk pulang, anak bungsu yang terlunta-lunta itu sebenarnya sudah siap bila nanti diperlakukan sebagai budak.

  • Ia memang sudah kehilangan hak sebagai anak
  • Namun apa yang terjadi? 
  • Ketika melihat dari jauh anaknya ini datang kembali, sang ayah lari tergopoh-gopoh menyongsongnya. 
  • Bahkan sebelum anak itu sempat mengucap minta ampun, sang ayah sudah memeluk dan menciumnya 
  • Dua hal ini tidak biasa. 
  • Masakan seorang tua yang terhormat seperti ayah itu berlari-lari? 
  • Mestinya paling banter ia hanya akan mengirim orang suruhan untuk menjemput. 
  • Masakan ia juga tidak membiarkan dulu anak itu mengutarakan rasa sesalnya terlebih dahulu
  • Mengapa demikian 
  • Dan di sinilah terletak inspirasi itu. 
  • Kita diajak menyadari bahwa Tuhan yang diperkenalkan 
  • Tuhan bertindak seperti sang ayah yang pengampun dan pemuranya h itu. 
  • Teologi "pendosa mesti dihukum" dan "orang baik mesti diberi pahala" tidak mencukupi sama sekali untuk memperkenalkan Tuhan yang seperti itu. 
  • Walau besar daya tariknya, teologi seperti itu tidak klop. 
  • Hanya akan membuat orang merasa terus-terusan menyesal seperti si bungsu, atau kesal melulu seperti si sulung.

Kasus yang sama dicontohkan juga terjadi pada Perasaan tersinggung orang-orang Farisi dan Ahli Kitab

  • Yesus sang utusan Tuhan bergaul dengan orang-orang yang tersisih dan dicap pendosa karena ia mau menghadirkan Tuhan sebagai ayah yang baik, bukan Tuhan yang baru mau mengampuni setelah menghukum sampai orang kapok. 
  • Tapi gambaran ini membuat orang baik-baik tidak tenteram lagi. 
  • Mereka tersengat melihat Yesus guru terhormat itu bergaul dengan para pemungut pajak. 
  • Kaum baik-baik itu memang menjadi bahan pembicaraan orang. 
  • Nyatanya ada seorang guru terkenal yang tak menjauhi pendosa yang akrab dengan kami-kami ini, tidak seperti orang-orang yang mencibirkan kami itu.


SANG AYAH DAN ANAK SULUNGNYA

Anak sulung itu marah dan tidak bersedia masuk ke dalam rumah ikut berpesta.

  • Lalu apa yang terjadi? 
  • Ayahnya keluar menemuinya dan membujuknya 
  • Ia bersikap sama seperti terhadap anak yang kembali tadi. 
  • Ayah itu pergi menemui yang membutuhkannya dan tidak diam menunggu di dalam rumah. 
  • Namun demikian si anak sulung tetap kurang senang dan mengutarakan kekesalannya. 
  • Ia merujuk adiknya bukan dengan kata "adikku itu", melainkan dengan "anakmu itu" 
  • Menarik, dalam perumpaman ini si anak sulung ini hanya tampil di luar rumah. 
  • Tidak pernah ia disebut ada di dalam rumah. 
  • Anak bungsu yang kembali tadilah yang bergerak dari luar ke dalam. 
  • Dan ayah mereka keluar masuk rumah untuk membawa masuk mereka! 
  • Lalu siapa yang sebenarnya menjadi anak yang sungguh? 
  • Bukankah ia yang ada di dalam rumah? 
  • Tetapi ayahnya tidak menegur anak sulungnya. 
  • Ia membujuknya dengan sabar "Nak!" dan kemudian meyakinkannya bahwa anak sulung itu selalu bersama dengannya dan seluruh hartanya itu juga miliknya. 
  • Dengan demikian keberatan anak sulung itu tak lagi beralasan. 
  • Tapi ada satu hal lagi yang ingin ditambahkan. 
  • Ayah itu barusan ketambahan harta baru yang khusus, yakni "adikmu"  yang tadi mati - putus haknya sebagai anak - kini hidup kembali dan mau menjadi anak lagi, yang hilang dahulu kini kembali. 
  • Dengan memakai kata "adikmu" itu sang ayah sebenarnya ingin mengajak anak sulung itu berbagi harta baru, yakni kegembiraan menemukan kekayaan baru ini! 
  • Sang ayah ini tokoh yang secara lahir batin merdeka sepenuhnya. 
  • Ia tidak marah, ia tidak tersinggung, ia tidak menuntut. 
  • Tetapi ia memberi, mengajak dan bisa berbagi kegembiraan.

Kisah anak sulung ini sebenarnya bukan untuk menunjukkan betapa sempitnya pandangan hidupnya. Maka tak perlu dipakai menuduh-nuduh diri kita sendiri atau orang di sekitar kita.

  • Gambaran itu dipakai untuk menonjolkan perhatian sang ayah. 
  • Mengenal tokoh ini membuat orang bisa makin memikirkan kebesaran hati Tuhan.


Riwayat anak bungsu dan anak sulung tadi juga membantu mengerti kebesaran Tuhan.

  • Ia mencintai si bungsu yang "pendosa" dan mengasihi si sulung yang "orang yang kaku hati" itu. 
  • Dia tidak duduk mengadili atau menghukum. 
  • Ia itu Tuhan yang tergopoh-gopoh mendatangi orang yang remuk hatinya. 
  • Tidak tahan Ia mendengar orang seperti itu menuturkan penyesalannya. 
  • Dipahaminya juga kenapa orang marah melihat Ia memperlakukan pendosa seperti anak. Ia tidak balik mencela. 
  • Ia berusaha bernalar dengan orang yang kurang puas itu. 
  • Lihat, kita mestinya gembira, kan mendapat harta tambahan, dan tambahan ini pemberianku bagimu - pahala yang kau inginkan sejak lama itu.


Ada banyak pesan yang bisa kita petik dari perumpamaan tentang anak yang hilang ini. (lihat Lukisan Rembrant )

Perumpamaan ini mengungkapkan belas kasih Allah yang tidak terhingga kepada kita manusia;
Sebagai Bapa, Ia menginginkan anak-anak-Nya bebas untuk mencintai. Termasuk bebas untuk pergi meninggalkan rumah-Nya, menuju ke negeri yang jauh dan kehilangan segala sesuatu. Hati Sang Bapa mengetahui segala penderitaan akibat pilihan itu, tetapi cinta-Nya membuat Dia tidak berdaya untuk menghindarkannya;
Sebagai Bapa, Ia menghendaki agar mereka yang berada di rumah-Nya menikmati kehadiran-Nya dan mengalami kasih-Nya. Tetapi sekali lagi, Ia hanya menawarkan kasih yang dapat dengan bebas diterima. Itulah kelebihan sekaligus “kelemahan Allah”;

Sebagai Bapa, satu-satunya kuasa yang dimilikinya, satu-satunya kuasa yang dituntut darinya, adalah kuasa untuk berbelas kasih. Karena itu, Dia  akan selalu terus mencari, sampai menemukan dan membawa kita kembali untuk berkumpul bersama-sama dengan Dia.

0 Response to "SEPI ING GAWE RAME KAGEM GUSTI"